Monday, June 24, 2013

Belajar di Belanda (Bagian 3. Belajar di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Internasional di Belanda)

Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
(Ki Hadjar Dewantoro)

Menyekolahkan anak di Sekolah Dasar dengan Sekolah Menengah Internasional di Belanda merupakan pengalaman tersendiri bagi kami.







Kami memutuskan untuk menyekolahkan kedua putri kami disekolah dengan Kurikulum British atau IB system untuk sekolah menengahnya dan British System di Sekolah dasarnya berdasarkan hasil konsultasi dengan guru dan kepala sekolah Belanda mapun sekolah Internasional yang kami datangi, mengingat usia kedua putri kami.


Kesan pertama yang didapat saat keduanya masuk pertama kali di sekolah tersebut dan bertemu dengan wali murid maupun kepala sekolah adalah rasa bersahabat yang membuat kedua putri kami merasa nyaman untuk mulai beradaptasi di sekolah barunya. Kebetulan putri pertama kami datang duluan ke Belanda dan sebelumnya sempat kami sekolahkan ke sekolah persamaan untuk masuk ke sistem sekolah Belanda karena keterbatasan biaya yang kami miliki. Menyekolahkan anak di sekolah Belanda bisa mengeluarkan uang sebesar 45 euro setahunnya biaya yang amat sangat murah dibanding sekolah di Indonesia. Namun setelah saya mengamati apa saja pelajaran yang diberikan di SEKOLAH PERSAMAAN BAHASA (ISK) saya merasa sepertinya sayang waktu dibuang hingga 1-2 tahun apalagi mereka tidak akan menetap lama di Belanda.  Saya juga berkonsultasi dengan teman bagaimana untuk bisa mengejar ketertinggalan ini dan bahkan sempat berpikir untuk memulangkan putri kami ke Inddonesia. Alhamdulilah setelah berkonsultasi lagi dengan  kepala sekolah di " sekolah persamaan bahasa Belanda" , beliau menyarankan agar kami mempertimbangkan untuk memindahkannya ke sekolah Internasional. Sayang waktu yang terbuang bila kami tidak akan menetap seterusnya di Belanda. Karena dibutuhkan waktu 2 tahun hanya untuk belajar bahasa belanda (bila pertama kali masuk ke sekolah menengah) sebelum akhirnya mengikuti kurikulum biasa.  Kami mengajukan keberatan kami karena biaya yang mungkin harus kami keluarkan nantinya. Mereka menyarankan untuk bertanya dan berkonsultasi dahulu siapa tahu akan dapat bantuan khusus.
Akhirnya saya memberanikan diri bersama putri pertama saya membuat janji dan bertemu dengan Principal International School Groningen (ISG).  Kami berdiskusi dan dia menceritakan kurikulum yang akan diberikan rasio guru murid sistem evaluasi dan keterangan lainnya. Dia juga khusus mewawancarai putri kami untuk mengetahui pelajaran yang pernah diajarkan serta minat lainnya. Dia berkata pada kami bahwa putri kami berhak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuan akademisnya untuk bersekolah di ISG. Lalu saya berkata bahwa saya hanya pelajar dengan beasiswa yang hanya 1000 euro perbulannya. Saya tinggal berdua dengan putri saya menempati kamar dirumah teman kami yang juga pelajar. Saya merasa keberatan apabila diharuskan membayar 6500 euro pertahunnya atau 650 euro perbulan (dibayar dalam 10 bulan) mereka tidak menghitung 2 bulan yang digunakan untuk libur. Namun Kepala Seklah tersebut berujar bahwa disini setiap anak yang tinggal di Belanda memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang sesuai. Tidak benar apabila dia harus bersekolah di sekolah bahasa selama 2 tahun dahulu apabila dia tidak akan menetap lama di Belanda. Dia bilang berapa uang yang kamu keluarkan untuk menyewa kamar makan dan tentu saja rekreasi untuk keluarga. Dia bilang akan membantu menghitungnya. Akhirnya keluar angka 2500 euro pertahun yang bisa saya bayar. Jumlah ini bisa ditawar dan dikurangi lagi apabila saya masih merasa keberatan. Dia bilang bahwa dicoba selama dua bulan apabila uang tidak mencukupi saya bisa mengajukan reduksi lagi. Dia berujar bahwa putri kami harus terpenuh semua kebutuhan primer termasuk rekreasi serta membeli baju dan perlengkapan sekolah baru untuknya. Saya langsung bersyukur dengan keputusan ini suatu keputuisan yang bagi saya saat itu sangat luar biasa. Suatu anugrah yang tak ternilai bagi kami sekeluarga. Bisa dibayangkan bersekolah di sekolah Internasional dengan IB curriculum yang di Indonesia dimiliki oleh sekolah2 Internasional lama seperti British School, Jakarta International School dan Gandhi Memorial School yang kalau kami tinggal di Indonesiapun tidak terpikir untuk bisa mampu secara finansial untuk menyekolahkan mereka. Keadaan serupa alhamdulilah juga dialami saat kami harus menyekolahkan putri kedua kami di Belanda. Putri kedua kami masuk ke sekolah dasar (setingkat kelas 4 SD di  Sekolah Dasar Internasional di Groningen) . Kami juga mendapat subsidi dari pemerintah Belanda sehingga tidak harus membayar penuh.

Kedua putri kami sangat bahagia , bersemangat dan bisa menyesuaikan dengan baik dengan sistem pendidikan di sini. Mereka merasa bahwa para guru banyak memberikan perhatian untuk murid per murid, menghargai apapun hasil yang dicapai dan memberikan jam tambahan maupun mentor khusus untuk meta pelajaran yang mereka anggap tertinggal. Alhamdulilah tidak lama mereka bisa mengejar ketertinggalan mereka bahkan mewakili sekolah untuk Olimpiade Matematika atau Science karena prestasi mereka. Para guru juga memberikan pujian khusus atas keseriusan mereka dan prestasi mereka di sekolah. Mereka berujar merasa nyaman dengan cara kerja kedua putri kami yang menurut para guru “typically Asian Student” yang serius dan pekerja keras sehingga bisa memberikan aura positif di kelas. Juga orang tua teman putri kami dari Amerika sempat memberikan pujian dan rasa terima kasihnya khusus pada kami karena putri mereka mendapat partner yang sesuai untuk meningkatkan prestasi mereka bersama. Sykur alhamdulilah.

Bila membaca dan berusaha memahami kalimat dari  Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantoro  diatas , sepertinya kurikulum di sekolah ini mengikutinya dengan baik. Ing Ngarso Sun Tulodo – di depan mereka berperan sebagai contoh, contoh bagaimana bekerja dengan baik, tepat waktu memberikan penilaian dengan tepat dan serius pada hasil pekerjaan murid serta memberi pancingan permasalah untuk dipelajari. Ing Madyo Mangun Karso – Bersama dengan murid mereka bekerja sama. Mereka menetapkan target materi apa yang akan dan mampu dikuasi oleh orang per orang (secara individu) dan mereka bekerja bersama untuk menetapkan target2 penguasaan materi yang telah disepakati dan dibuat bersama murid. Serta konsep Tut Wuri Handayani setelah murid mengerti topik atau materi apa yang akan dipelajari, mereka membiarkan murid untuk bekerja sesuai dengan kecepatan masing2 mereka mengawasi dan mendorong dari belakang. Suatu konsep pendidikan yang sampai sekarang masih saya pertanyakan sendiri apakah masih dan sudah di terapkan di pendidikan dasar dan menengah di Indonesia (walaupun tulisan tut wuri handayani telah tertoreh di logo diknas) ?

Pelajaran yang kurang lebih sama dengan di Indonesia seperti Matematika, Science, Art. Olah Raga serta Bahasa. Namun Bahasa disini mereka diwajibkan mempelajari Bahasa Inggris , serta satu bahasa native masing2 anak, serta bahasa Belanda. Bahasa lain yang bisa sukarela dipelajari adalah bahasa Perancis. Kemudian selain itu ada pelajaran yang sedikit berbeda yaitu Humanities dan serta Design and Technology.  Pada pelajaran Design and Technology, anak2 diberi satu topik misal adalah topik membuat topi, mereka diminta untuk melakukan studi literatur dan memilih desain topi serta merancang konsep topi masing masing hingga mewujudkan konsep topi rancangan mereka sendiri. Pada pelajaran art mereka juga diminta untuk mempelajari literatur dibelakang produk seni yang akan mereka hasilkan. Pelajaran Matematika dan Science diberikan dengan cara tiap saat dibahas satu topik, mereka diminta untuk belajar, mendapat pelajaran dari guru kemudian mereka diminta untuk membuat essay atau tulisan. Pada saat kelas2 awal mereka masih diperbolehkan mencontoh kalimat2 dari referensi yang mereka baca. Namun menginjak MYP 2 (setingkat kelas 1 SMP) mereka harus menuliskan kalimat2 mereka sendiri dalam essay yang mereka kumpulkan dengan cara mengunggah tugas2 masing dalam jaringan /website sekolah mereka. Yang menarik disini adalh setiap murid dan tiap orang tua murid memiliki akun pribadi di web sekolah yang digunakan siswa untuk mengupload tugas2 dan berkomunikasi dengan guru hingga melihat jadwal pelajaran dari hari perhari. Orang tua juga memiliki akun pribadi yang bisa digunakan untuk memantau tugas2 yang diserahkan oleh anak mereka , melihat jadwal sekolah, memantau silabus materi pelajaran yang akan diberikan serta berkomunikasi dengan wali murid dan guru masing2.

Kegiatan lain yang tak kalah penting dan sangat menarik adalah school trip. Untuk anak2 yang lebih kecil seperti MYP 1-3 mereka melakukan school trip di daerah wisata di Belanda dan Jerma. Untuk kelas  anak kelas lebih besar MYP 4-5 dan DP1, 2 bisa mengunjungi tempat yang lebih jauh hingga ke UK , Spanyol dan negara lainnya. School trip juga dilakukan untuk mengunjungi tempat2 penting seperti tweede kamer di Den Haag, kamp konsentrasi Jerman di Belgia dan masih banyak tempat bersejarah lainnya. Saat putri pertama kami melakukan school trip ke London, mereka mengunjungi tempat2 seni , museum juga melihat pertunjukan seni. Setelah school trip berakhir mereka diminta menceritakan kegiatan mereka dalam sesi khusus yang dibuat bersama dengan guru dan orang tua murid.

Saat liburan musim panas tahun 2012, saya sempat mengajak kedua putri kami untuk mengunjungi sekolah SMP dan SMA di Indonesia. Untuk melakukan penjajagan apabila kami akan pindah ke Indonesia. Saat kami berada di beberapa sekolah negeri favorit, ternyata kedua putri kami sempat merasa kecawa dengan sambutan yang diberikan. Ada satu sekolah yang bahkan berkata bahwa “oooo kalau sekolah di luar negri, biasa kalau pulang ke Indonesia kan turun satu tingkat , biasanya seperti itu bu … karena sekolah di Indonesia jauh lebih sulit daripada sekolah di luar negri”  Putri kedua kami dengan kepolosan anak kecilnya berujar pada saya saat dalam perjalanan pulang “Bu kenapa ya  kalau memang sekolah di Indonesia lebih sulit seperti kata bu guru daripada di Belanda  , kok Negeri Belanda lebih maju dari Indonesia?”  Suatu pertanyaan yang sulit dijawab oleh saya sendiri dan mungkin sulit dijawab oleh guru2 tersebut kalau memang pertanyyan tersebut diajukan langsung pada mereka. Cerita lain adalah saat putri kedua saya berujar, bahwa teman2 dia di Indonesia sedang sibuk menyiapkan Unas dan menurut putri saya hampir setahun penuh waktu dikerjakan untuk mengerjakan soal soal Unas. Dia bertanya “kalau waktu pelajaran yang digunakan untuk mengerjakan UNAS kemudian berarti waktu yang digunakan untuk mempelajari materi SMP hanya 2 tahun ya bu? Apa cukup ya waktunya?” kemudian saat UNAS dia terdiam dan berkata padaku “Bu aku adalah jenis siswa yang tidak bisa dinilai kempuan akademisku hanya dalam satu kali ujian Bu , kalau aku saat ini sekolah di Indonesia, kasihan Ibu pasti akan bersusah payah cemas dan kebingungan saat harus mencari sekolah negeri favorit untuk aku ya Bu seperti saat ibu harus mencarikan sekolah SMP untukku” Suatu ungkapan sederhana yang diungkapkan oleh siswa yang merasakan sendiri kurikulum di Indonesia.

Tulisan ini dibuat kebetulan pada tanggal 1 Mei pada saat Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Semoga sedikit tulisan kami dan pertanyaan pertanyaan polos dari hati nurani kedua putri kami juga didengarkan dan diperhatikan untuk kurikulum selanjutnya di Indonesia. Sehingga para siswa juga merasa nyaman untuk kembali sekolah di negerinya sendiri. Dan semoga sistem pendidikan nasional kita terutama tingkat dasar dan menengah akan semakin membaik dan belajar dari pengalaman buruk maupun keluhan dari murid2nya. Doa kami untuk kemajuan pendidikan Indonesia.

 “It is for life what we have learned, not for school …. “

Groningen, Kamis 2 Mei 2013

PS : Terima kasih banyak untuk Keisha Lyubiana, Katya Loviana dan ISG serta GSV untuk foto2nya

No comments:

Post a Comment