Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
(Ki Hadjar Dewantoro)

Menyekolahkan anak di Sekolah Dasar dengan Sekolah Menengah Internasional di Belanda merupakan pengalaman tersendiri bagi kami.
Kami memutuskan untuk menyekolahkan kedua putri kami disekolah dengan Kurikulum British atau IB system untuk sekolah menengahnya dan British System di Sekolah dasarnya berdasarkan hasil konsultasi dengan guru dan kepala sekolah Belanda mapun sekolah Internasional yang kami datangi, mengingat usia kedua putri kami.
Kesan pertama yang didapat saat keduanya masuk pertama kali di sekolah tersebut dan bertemu dengan wali murid maupun kepala sekolah adalah rasa bersahabat yang membuat kedua putri kami merasa nyaman untuk mulai beradaptasi di sekolah barunya. Kebetulan putri pertama kami datang duluan ke Belanda dan sebelumnya sempat kami sekolahkan ke sekolah persamaan untuk masuk ke sistem sekolah Belanda karena keterbatasan biaya yang kami miliki. Menyekolahkan anak di sekolah Belanda bisa mengeluarkan uang sebesar 45 euro setahunnya biaya yang amat sangat murah dibanding sekolah di Indonesia. Namun setelah saya mengamati apa saja pelajaran yang diberikan di SEKOLAH PERSAMAAN BAHASA (ISK) saya merasa sepertinya sayang waktu dibuang hingga 1-2 tahun apalagi mereka tidak akan menetap lama di Belanda. Saya juga berkonsultasi dengan teman bagaimana untuk bisa mengejar ketertinggalan ini dan bahkan sempat berpikir untuk memulangkan putri kami ke Inddonesia. Alhamdulilah setelah berkonsultasi lagi dengan kepala sekolah di " sekolah persamaan bahasa Belanda" , beliau menyarankan agar kami mempertimbangkan untuk memindahkannya ke sekolah Internasional. Sayang waktu yang terbuang bila kami tidak akan menetap seterusnya di Belanda. Karena dibutuhkan waktu 2 tahun hanya untuk belajar bahasa belanda (bila pertama kali masuk ke sekolah menengah) sebelum akhirnya mengikuti kurikulum biasa. Kami mengajukan keberatan kami karena biaya yang mungkin harus kami keluarkan nantinya. Mereka menyarankan untuk bertanya dan berkonsultasi dahulu siapa tahu akan dapat bantuan khusus.
Kedua putri kami sangat bahagia , bersemangat dan bisa menyesuaikan dengan baik dengan sistem pendidikan di sini. Mereka merasa bahwa para guru banyak memberikan perhatian untuk murid per murid, menghargai apapun hasil yang dicapai dan memberikan jam tambahan maupun mentor khusus untuk meta pelajaran yang mereka anggap tertinggal. Alhamdulilah tidak lama mereka bisa mengejar ketertinggalan mereka bahkan mewakili sekolah untuk Olimpiade Matematika atau Science karena prestasi mereka. Para guru juga memberikan pujian khusus atas keseriusan mereka dan prestasi mereka di sekolah. Mereka berujar merasa nyaman dengan cara kerja kedua putri kami yang menurut para guru “typically Asian Student” yang serius dan pekerja keras sehingga bisa memberikan aura positif di kelas. Juga orang tua teman putri kami dari Amerika sempat memberikan pujian dan rasa terima kasihnya khusus pada kami karena putri mereka mendapat partner yang sesuai untuk meningkatkan prestasi mereka bersama. Sykur alhamdulilah.
Saat liburan musim panas tahun 2012, saya sempat mengajak kedua putri kami untuk mengunjungi sekolah SMP dan SMA di Indonesia. Untuk melakukan penjajagan apabila kami akan pindah ke Indonesia. Saat kami berada di beberapa sekolah negeri favorit, ternyata kedua putri kami sempat merasa kecawa dengan sambutan yang diberikan. Ada satu sekolah yang bahkan berkata bahwa “oooo kalau sekolah di luar negri, biasa kalau pulang ke Indonesia kan turun satu tingkat , biasanya seperti itu bu … karena sekolah di Indonesia jauh lebih sulit daripada sekolah di luar negri” Putri kedua kami dengan kepolosan anak kecilnya berujar pada saya saat dalam perjalanan pulang “Bu kenapa ya kalau memang sekolah di Indonesia lebih sulit seperti kata bu guru daripada di Belanda , kok Negeri Belanda lebih maju dari Indonesia?” Suatu pertanyaan yang sulit dijawab oleh saya sendiri dan mungkin sulit dijawab oleh guru2 tersebut kalau memang pertanyyan tersebut diajukan langsung pada mereka. Cerita lain adalah saat putri kedua saya berujar, bahwa teman2 dia di Indonesia sedang sibuk menyiapkan Unas dan menurut putri saya hampir setahun penuh waktu dikerjakan untuk mengerjakan soal soal Unas. Dia bertanya “kalau waktu pelajaran yang digunakan untuk mengerjakan UNAS kemudian berarti waktu yang digunakan untuk mempelajari materi SMP hanya 2 tahun ya bu? Apa cukup ya waktunya?” kemudian saat UNAS dia terdiam dan berkata padaku “Bu aku adalah jenis siswa yang tidak bisa dinilai kempuan akademisku hanya dalam satu kali ujian Bu , kalau aku saat ini sekolah di Indonesia, kasihan Ibu pasti akan bersusah payah cemas dan kebingungan saat harus mencari sekolah negeri favorit untuk aku ya Bu seperti saat ibu harus mencarikan sekolah SMP untukku” Suatu ungkapan sederhana yang diungkapkan oleh siswa yang merasakan sendiri kurikulum di Indonesia.
Tulisan ini dibuat kebetulan pada tanggal 1 Mei pada saat Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Semoga sedikit tulisan kami dan pertanyaan pertanyaan polos dari hati nurani kedua putri kami juga didengarkan dan diperhatikan untuk kurikulum selanjutnya di Indonesia. Sehingga para siswa juga merasa nyaman untuk kembali sekolah di negerinya sendiri. Dan semoga sistem pendidikan nasional kita terutama tingkat dasar dan menengah akan semakin membaik dan belajar dari pengalaman buruk maupun keluhan dari murid2nya. Doa kami untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
“It is for life what we have learned, not for school …. “
Groningen, Kamis 2 Mei 2013
PS : Terima kasih banyak untuk Keisha Lyubiana, Katya Loviana dan ISG serta GSV untuk foto2nya
PS : Terima kasih banyak untuk Keisha Lyubiana, Katya Loviana dan ISG serta GSV untuk foto2nya
